sekolah Ibu Jempolan

Hiruk pikuk pagi

Rumah Merah
"Pusing gue, tiap bulan ke dokter. Anak sakit melulu. Suami, nyalahin gue."

Rumah Kuning
"Kakak... Cepet bangun. Kesiangan loh sekolahnya. Adik, ayo sini, mam dulu. Papa itu seragamnya udah mama gantung. Kaos kaki udah disimpen di sepatunya." bu Kuning mondar-mandir seperti pagi-pagi sebelumnya.

Rumah Hijau
"Pa, uang belanja udah menipis. Papa cari sampingan dong... Mama malu utang melulu ke warung."

Rumah Biru
"Mas, jangan cuma aku dong yang disuruh periksa ke dokter kandungan. Kamu juga. Ga adil. Aku jadi terus-terusan disalahkan, dibilang mandul, padahal belum tentu."

Keluarga rumah merah, kuning, hijau dan biru hidup berdampingan. Mereka mempunyai masalah berbeda. Setiap jam 9 pagi, tiga dari empat istri berkumpul di pedagang sayur keliling. Tapi hari ini semuanya lengkap.

"Bu merah, ga kerja?" bu Kuning memulai obrolan.

"Ga bu, anak gue sakit. Pusing gue, tiap bulan ada saja bolosnya." bu Merah keliatan kusut.

"Bu, bersyukur punya anak. Saya nih, udah berharap lima tahun, belum juga dikasih." bu Biru jadi curcol. (red : curhat colongan)

"Bu Biru, asuh anak saya mau ga? Pancingan gitu... Saya kewalahan. Si kakak suka nangisin adiknya. Mana saya lagi hamil lagi dua bulan."

"Hah... Hamil lagi!!!" freeze... Jepret. Kalau difoto cakep tuh, kagetnya natural. Wajah bu Kuning merona malu.

"Eh, Maaf bu Kuning.. Habis si adik juga baru setahun kan?" bu Hijau baru buka suara.

"Ga apa-apa bu."

"Bang, udah nih, bayam aja." bu hijau menyodorkan uang dua ribuan.

"Bayam aja buat apa bu? Masih ada lauk kemarin?" bu Merah kepo.

"iya, masih ada telor di rumah."

"Ooo.."

"Bu, tuker-tuker nasib yu kayak di tipi-tipi. Bosen saya gini-gini terus." ide bu Merah ditanggapi dengan anggukan ketiga tetangganya.

"Gimana caranya?" bu Kuning mengerutkan dahi.

"Gini,, anak gue biar diasuh sama bu Biru. Pengen tahu, kalau diasuh die, anak gue sakit kagak?"

"We... Enak aja. Nanti kalau sakit, saya yang disalahin suami situ." bu Biru sewot sampe bibirnya maju beberapa mili.

"Nah, suami bu Biru dituker sama suami bu Kuning. Biar ketahuan siapa yang mandul." ide gila bu Merah makin menjadi.

"Kalau nuker suami, saya mau. Suami saya jarang kasih uang. Ayo siapa yang mau...?" bu Hijau keceplosan dan ikut-ikutan gila.

Tukang sayur hanya geleng-geleng kepala mendengar celoteh para ibu stres. Andai semua ibu seperti ini, apa jadinya dunia.

****

"Bang, kok ga jualan? Mentang-mentang hari minggu, tukang sayur juga libur." bu Merah keluar rumah sambil menggerutu.

Bang Jampang menghampiri bu Merah sambil menenteng tumpukan kertas ukuran buku saku.

"Bu, ini aye mau ngajak ibu-ibu komplek pelangi buat sekolah." bang Jampang menyerahkan sehelai kertas di antara tumpukan itu.

"Sekolah apa ini bang?" bu Merah hanya membolak balik kertas tanpa membacanya.

"Baca aja dulu bu... Yang punya sekolah, aye. Kerjasama dengan para tukang sayur lain yang bernasib same. Modalnya dari hasil jual tanah."

Bu Merah tidak mendengarkan ucapan bang Jampang. Ia serius membaca brosur.

"Ya udah bu, aye sebar brosur dulu."

Bang Jampang pamit karena bu Merah mengacuhkan penjelasannya.

"E, e, e... Tunggu dulu. Dijamin bagus nih? Trus yang jual sayur siapa?"

"Aye jamin bu, sekolah buatan aye oke punya. Walau cuma tukang sayur, kalau punya duit mah tinggal cari tim ahli... Soal yang jualan, di sana ada kantin yang juga jual sayur lengkap khusus hari sekolah." bang Jampang berapi-api menjelaskan sekolah baru yang ia buat.

Bu Merah menunjuk-nunjuk brosur sambil senyum sumringah.

"Iye, iye, iye.. Sekolah kayak gini nih yang gue mau. Sekolah Ibu Jempolan." bu Merah melihat masih banyak brosur di tangan bang Jampang.

"Udah gih sana sebarin brosurnya. Roman-romannya banyak yang bakalan ikut tuh bang."

"Aamiin.. Mari, bu.."

***

Ini hari pertama ibu-ibu komplek Pelangi sekolah. Jam sekolahnya pukul sembilan pagi sampai sebelas pagi, kayak anak-anak playgroup, dua jam saja. Mereka saling jemput untuk bersama-sama ke sekolah.

Bu Merah izin tidak masuk kerja hari ini. Rencananya kalau sekolah punya bang Jampang ini benar-benar bagus, dia akan mengajukan surat pengunduran diri ke pabrik tempatnya bekerja.

Sesampainya di sekolah yang lebih mirip ruko, dua lantai. Di dalam semua furnitur tertata rapi. Meja resepsionis berada di bagian paling depan. Ini sekolah tidak main-main. bang Jampang menyambut calon muridnya.

"Selamat pagi, bu..." senyumnya lebar menyapa keempat ibu-ibu komplek Pelangi.

"Pagi...." serempak keempatnya melempar senyum.

"Silakan ibu-ibu, di sini kelasnya. Hari ini kita akan perkenalan sekolah dulu. Setelah itu ada pengelompokan kelas apa yang akan ibu ambil sebagai solusi rumah tangga." bang Jampang menggiring ke empat ibu-ibu ke sebuah kelas ber-AC ukuran 4 x 5 meter.

Di dalam sudah ada sepuluh orang calon murid yang sedang menunggu penjelasan. Ibu-ibu Komplek Pelangi pun mengatur posisi duduk berdekatan, seperti gangster sekolah.

Tak berapa lama, seorang ibu berusia sekitar tiga puluh lima tahun masuk kelas. Belakangan diketahui ia sebagai psikolog, juga kepala sekolah Ibu Jempolan. Ia dipanggil bu Lurah oleh murid-muridnya. Bukan karena ia seorang istri lurah, tapi ini istilah di Sekolah Ibu Jempolan. Istilah untuk murid pun bu RT. Sikapnya ramah dan sangat luwes berbicara di depan para ibu.

"Ibu-ibu yang cantik... Hari ini saya akan menjelaskan latar belakang sekolah ini berdiri, tujuannya apa dan apa saja yang akan ibu-ibu dapatkan di sini. Awalnya sekolah ini ada karena jasa para tukang sayur. Mereka prihatin dengan permasalahan ibu-ibu di rumah. Jadilah tukang sayur ini sebagai pendengar setia curhatan para ibu. Berbekal itu semua, mereka sepakat membuat sekolah untuk para ibu. Sesuai nama sekolahnya, tujuan didirikannya sekolah ini agar ibu-ibu jadi Ibu jempolan, disayang suami dan anak. Di sini kita tidak harus datang setiap hari. Tergantung, ibu-ibu mau ambil kelas apa. Kelas yang bisa diikuti sementara ini ada kelas memasak, perawatan dan kesehatan, manajemen waktu dan manajemen keuangan, tergantung masalah utama ibu-ibu di rumah. Mau ikut semua juga boleh, asal waktunya ada. Saran saya, satu-satu saja. Agar rumah tidak sering ditinggal."

Bu Lurah menjelaskan sedetail mungkin hari dan jam sekolah. Untuk konsultasi masalah rumah tangga, setiap hari ada bu Lurah yang siap kapan saja ditemui di sekolah Ibu Jempolan. Dikenakan biaya per konsultasi. Tapi semua biaya terjangkau. Bang Jampang dan kawan-kawan giat mencari donasi. Sesekali akan diadakan lomba bagi para ibu secara umum.

Seluruh calon siswa sangat senang dengan adanya sekolah ini. Menjawab keinginan mereka selama ini, pernikahan tidak ada sekolahnya, tapi sekarang ada. Sekolah ini pun disarankan pada calon pengantin sebagai persiapan memasuki gerbang pernikahan. Semoga ini mengurangi tingkat perceraian.

***

Minggu Pagi di Komplek Pelangi, ibu-ibu sudah berkumpul di gerobak bang Jampang.

Bu Merah : Bu, tau ga sih, anak gue tuh sakit gara-gara sering telat makan. Udah gitu makanannya kurang sehat. Makanya, gue berhenti kerja. Ngapain gue kerja, anak ga keurus. Gaji gue abis buat ke dokter. Sekarang, gue udah jago masak, berkat sekolah bang Jampang...(melirik senang pada bang Jampang)

Bu Kuning : Bang Jampang ini kece.. Tukang sayur tapi punya ide oke. Saya juga jadi bisa ga panik tiap pagi. Udah belajar manajemen waktu di sekolah Ibu Jempolan.

Bu Hijau : Ga salah saya pilih kelas manajemen keuangan. Sekarang saya udah ga boros lagi. Trus, insya Allah mau buka usaha rumahan, dagang sembako. Bantuin suami cari duit.

Bu Biru : Seengganya saya bisa lebih sabar nunggu kehadiran jabang bayi. Sambil nunggu, sambil perawatan dan menjaga kesehatan. Supaya suami betah di rumah. Ga kerja terus.

Bang Jampang tersenyum bahagia. Indahnya hidup berdampingan dengan damai..

0 comments: